"Pembelaan Diri" Dalam Kasus Polisi Tembak Polisi
Karo Penmas Irjenpol Ahmad Ramadhan

"Pembelaan Diri" Dalam Kasus Polisi Tembak Polisi

Litigasi - Dikabarkan terjadi tembak-menembak antara dua anggota Polri, antara  Brigadir J dan Bharada E yang mengakibatkan Brigadir J meninggal dunia, terjadi di rumah Kadiv Provam Irjen Ferdy Sambo.

Terlepas dari kesimpang siuran pemberitaan, tetapi pada Senin 11 Juli 2022, Brigjend Ahmad Ramadan selaku Karo Penmas Divisi Humas Polri menyampaikan keterangan yakni:

“Jadi bukannya melakukan perbuatan karena motif lain, motifnya adalah membela diri dan ibu (istri Kadiv Propam)”, kata Ramadhan kepada wartawan di Mabes Polri, Jakarta, Senin (11/7/2022).[1]

Yang digarisbawahi kalimat “membela diri dan ibu (isteri Kadiv Propam)”, oleh karenanya akan dibahas apa maksud dari “membela diri dan ibu (istri Kadiv Propam)” itu secara ilmu hukum pidana, dengan tujuan memberikan informasi tambahan kepada masyarakat.

Mengapa harus dibahas? Ini sangat penting sebab masyarakat perlu mengetahui bahwa hukum pidana harus membebaskan seseorang dari pemidanaan atau hukuman jika perbuatannya itu dimaksudkan untuk membela dirinya dan orang lain, meskipun perbuatannya itu dikwalifikasi sebagai perbuatan melanggar hukum atau melawan hak. Ketentuan itu diatur di dalam Pasal 49 KUHP yang isinya menurut R. Soesilo menyatakan:

Pasal 49 KUHP

(1)  Barang siapa melakukan perbuatan, yang terpaksa dilakukakannya untuk mempertahankan dirinya atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, dari pada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum.

(2)  Melampaui batas pertahanan yang sangat perlu, jika perbuatan itu dengan sekonyong-konyong dilakukan karena perasaan tergoncang dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum.[2]

Soesilo dalam penjelasan Pasal 49 KUHP tersebut pada pokoknya menegaskan bahwa untuk dinyatakan “pembelaan darurat” (nodweer) maka harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:[3]

    1. Terpaksa, harus amat perlu atau perlu sekali (Belanda; noodzakelijk), tidak ada jalan lain. Harus ada keseimbangan yang tertentu antara pembelaan yang dilakukan dengan serangannya. Bilamana orang masih dapat menghidakan sesuatu serangan dengan jalan lain, umpamanya dengan menangkis atau merebut senjatanya, sehingga penyerang dapat dibuat tidak berdaya, maka pembelaan dengan kekerasan tidak boleh dipandang sebagai terpaksa.
    2. Pembelaan atau pertahanan itu harus dilakukan hanya terhadap kepentingan-kepentingan yang disebut dalam pasal itu ialah badan, kehormatan (kesusilaan) dan barang sendiri atau orang lain.
    3. Harus ada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan sekonyong-konyong atau pada ketika itu juga atau serangan masih panas mengancam.
    4. Pada ayat (2) disebut “Pembelaan darurat yang melampaui batas” (Noodweer-exces). Disini batas-batas keperluan pembelaan itu dilampaui. Misalnya orang membela dengan menembakkan pistol, sedangkan sebenarnya pebeleaan dengan pemukul kayu sudah cukup. Pelampauan batas-batas pembelaan ini oleh undang-undang diperbolehkan asal saja karena perasaan tergoncang hebat yang timbul karena serangan itu; perasaan tergoncang hebat misalnya jengkel atau marah sekali yang biasa dikatakan mata-gelap. Misalanya seorang agen polisi yang melihat isterinya diperkosa oleh orang, lalu mencabut pistolnya yang dibawa dan ditembakkan beberapa kali pada orang itu, boleh dikatakan itu melampui batas-batas pembelaan darurat, karena biasanya dengan tidak perlu menembak beberapa kali, orang itu telah menghentikan perbuatannya dan melarikan diri. Apabila dapat dinyatakan pada hakim bahwa bolehnya melampaui batas-batas itu disebabkan karena marah yang amat sangat, maka agen polisi itu tidak dapat dihukum atas perbuatannya tersebut.

Kemudian menurut Wirjono Prodjodikoro, Pasal 49 ayat (1) KUHP diterjemahkan menjadi:

Tidaklah dihukum seorang yang melakukan sesuatu perbuatan yang diharuskan (geboden) untuk keperluan mutlak membela badan (lijf), kesusilaan (eerbaarheid), atau barang-barang (goed) dari dirinya sendiri atau orang lain, terhadap suatu serangan (aanranding) yang bersifat melanggar hukum (wederrechtelijk) dan yang dihadapi seketika itu (ogenblikkelijk) atau dikhawatirkan segera akan menimpah (onmidderlijk dreigend).[4]

Mengenai istilah kehormatan di dalam Pasal tersebut, para ahli menggunakan kata yang berbeda, R. Soesilo menggunakan kata Kehormatan, sedangkan Moeljatno menggunakan kata “kehormatan kesusilaan (eerbaarheid)dan menurut Engelbrecht 1960 diistilahkan dengan “peri kesopanan”[5] Namun menurut Penulis istilah-istilah tersebut memiliki persamaan, dimana maksudnya adalah menjaga harkat dan martabat.

Dari substansi Pasal 49 KUHP tersebut dihubungkan dengan pendapat ahli hukum tersebut menjadi ukuran perbuatan Bharada E termasuk membela diri atau tidak. Hal itu sangat penting sebab jika terbukti Bharada E melakukan pembelaan bagi dirinya sendiri ataupun bagi orang lain yakni isteri dari Irjend Ferdy Sambo maka perbuatannya menjadi patut dan benar, berarti hapuslah sifat melawan hukum dari perbuatannya menembak Brigadir J hingga meninggal dunia. Dan Bharada E tidak dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya memiliki alasan pembenar. Namun jika unsur membela dirinya sendiri dan orang lain tidak terbukti maka ianya harus menjalani proses hukum berikutnya.

 

Sumber

[1] Internet, https://nasional.kompas.com/read/2022/07/12/05370891/motif-bharada-e-tembak-brigadir-j-polri-membela-diri-dan-lindungi-istri diakses pada 13 Juli 2022.

[2] R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor, Politeia, 1995), hlm. 64.

[3] Idem, hlm. 64 – 66.

[4] Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia Edisi Kedua, (Bandung, Refika Aditama, 2003), hlm. 83.

[5] Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta, Rineka Cipta, 2015), hlm. 156.