Prosedur Penangkapan
@ilustrasi

Prosedur Penangkapan

Tindak Pidana Narkotika dan Terorisme

Litigasi - Pengertian Penangkapan pada dasarnya telah dijelaskan dalam Pasal 1 butir 20 Undang-undang Nomor 08 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Penangkapan yang dilakukan oleh penyidik terhadap seseorang atau beberapa orang yang diduga kuat telah melakukan tindak pidana tidak serta merta dapat dilakukan penangkapan begitu saja melainkan harus mengikuti prosedur yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Prosedur penangkapan tersebut dapat dilihat dari ketentuan Pasal 18 KUHAP yang bunyinya:

    1. Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.
    2. Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat.
    3. Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.

Syarat dalam melakukan penangkapan terhadap pelaku tindak pidana haruslah didasari dengan adanya dugaan yang kuat bahwa tersangka benar pelakunya serta harus pula dilakukan berdasarkan adanya bukti permulaan yang cukup. Hal ini sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 17 KUHAP.

Lebih lanjut terkait bukti permulaan yang cukup, M. Yahya Harahap, dalam bukunya yang berjudul “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan” pada halaman 158 menjelaskan bahwa:

Yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup menurut penjelasan Pasal 17 KUHAP ialah alat bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 angka 14 KUHAP. Selanjutnya penjelasan Pasal 17 KUHAP menyatakan: Pasal ini menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-sewenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana.  

Dari pendapat M. Yahya Harahap tersebut, dapat dipahami bahwa penangkapan yang dilakukan oleh petugas yang berwenang tidak dapat dilakukan dengan cara sewenang-wenang atau sesuka hati tetapi harus terpenuhi unsur dugaan yang kuat terhadap si pelaku serta dugaan itu harus pula disertai dengan bukti permulaan yang kuat, kenapa demikian karena apabila dilakukan secara sewenang-wenang maka sudah termasuk menyalahi prosedur yang berlaku. Selain syarat di atas, terdapat syarat lain yang diatur dalam Pasal 16 KUHAP yang mana tujuan dilakukan penangkapan semata-mata hanya untuk kepentingan penyelidikan dan/atau penyidikan.

Kemudian adapun batas waktu yang diberikan oleh Undang-undang dalam hal penangkapan telah ditentukan dalam Pasal 19 ayat (1) KUHAP, yakni paling lama 1 (satu) hari. Apabila jangka waktu tersebut lewat maka telah terjadi pelanggaran hukum serta dengan sendirinya penangkapan itu dianggap tidak sah dan konsekuensinya, tersangka yang telah ditangkap itu harus dibebaskan demi hukum atau jika batas waktu itu dilanggar, tersangka melalui penasihat hukumnya maupun keluarganya dapat melakukan upaya hukum melalui prapradilan terkait sah atau tidaknya penangkapan dan sekaligus dapat pula menuntut ganti rugi. Akan tetapi batas waktu penangkapan yang dilakukan terhadap pelaku tindak pidana ini akan berbeda dengan penangkapan yang dilakukan terhadap kejahatan di bidang tindak pidana narkotika dan juga terorisme. Dalam hal penangkapan terhadap pelaku tindak pidana narkotika dilakukan paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam yang dihitung sejak surat perintah penangkapan diterima oleh penyidik dan jangka waktu itu dapat diperpanjang untuk paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam.  Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang  menyatakan bahwa:

    1. Pelaksanaan kewenangan penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf g dilakukan paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam terhitung sejak surat penangkapan diterima penyidik.
    2. Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam.

Untuk pelaku tindak pidana terorisme penangkapan dilakukan dengan mengacu kepada Pasal 28 UU No. 5 Tahun 2018  tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 01 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-undang, yang bunyinya sebagai berikut:

    1. Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap Setiap Orang yang diduga melakukan Tindak Pidana Terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup untuk jangka waktu paling Lama 14 (empat belas) hari.
    2. Apabila jangka waktu penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak cukup, penyidik dapat mengajukan permohonan perpanjangan penangkapan untuk jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kepada ketua pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan penyidik.
    3. Pelaksanaan penangkapan orang yang diduga melakukan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip hak asasi manusia.
    4. Setiap penyidik yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian, dalam hal prosedur penangkapan untuk Tindak Pidana Narkotika dengan Tindak Pidana Terorisme  terdapat perbedaan dalam hal prosedur penangkapan. Dimana untuk Tindak Pidana Narkotika jangka waktu penangkapan untuk paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam dan dapat diperpanjang kembali dengan waktu 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam, sedangkan untuk prosedur penangkapan Tindak Pidana Terorisme jangka waktu penangkapan paling lama 14 (empat belas) hari dan dapat diperpanjang kembali dengan waktu paling lama 7 (tujuh) hari.